Setiap suku bangsa di Indonesia
masing-masing memiliki pola budaya yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Perbedaan budaya tersebut melahirkan pola pikir dan sistem sosial yang berbeda
pula dalam menghadapi kehidupan.
Warga Komunitas Adat Ammatoa (Foto: twicsy.com) |
Pasang Ri Kajang adalah
ajaran leluhur dan merupakan “hukum/ undang-undang”
berupa pedoman hidup yang diwariskan secara turun temurun. Pasang dikomunikasikan (secara lisan) melalui
Ammatoa dan para pemangku adat
lainnya. Sebagai ajaran dan tuntunan hidup bagi komunitas adat Kajang, Pasang mengatur semua aspek kehidupan sosial budaya dalam
masyarakatnya; aspek-aspek tersebut meliputi sistem ritual/ kepercayaan, adat
istiadat, sistem nilai, dan hubungan sosial dalam masyarakat, Pasang juga mengatur hubungan antara
manusia dengan lingkungannya.
Ammatoa adalah pemimpin
tertinggi dalam komunitas adat Kajang. Dalam menjalankan peran dan fungsinya
sebagai kepala suku, Ammatoa dibantu
oleh pemangku adat yang bertugas mengurusi bidang tertentu. Sekalipun Ammatoa merupakan pemimpin tertinggi
namun pengambilan keputusan selalu dimusyawarahkan dengan pembantunya. Hal ini
menggambarkan bahwa sosok Ammatoa adalah
pemimpin yang menganut paham demokrasi, jujur, adil dan mengayomi. Itulah
sebabnya sehingga Ammatoa selalu didengar nasehatnya, dicontoh
perbuatannya, dan tempat berlindung komunitasnya (mengayomi). Sosok Ammatoa adalah panutan yang sangat
disegani, baik, oleh komunitasnya maupun dari luar kawasan adat.
Dalam menyikapi kehidupan, masyarakat
adat Kajang cenderung lamban menerima pembaharuan. Dan bahkan ada hal-hal baru
yang mereka tolak sama sekali. Hal ini menyebabkan mereka terbelakang, baik
dari aspek sosial, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Kondisi tersebut
merupakan suatu fenomena sosial yang memerlukan penanganan pihak terkait secara
arif dan persuasif.
Deskripsi Awal
Tentang Kajang
Pada zaman kolonial Belanda, Kajang
merupakan salah satu distrik dari 14 distrik dalam Onderafdeling Bulukumba. Sistem pemerintahan seperti ini,
berlangsung sampai masa penyerahan kedaulatan. Setelah penyerahan kedaulatan
istilah Onderafdeling berubah menjadi
Kewedanan. Berdasarkan Undang-undang No. 29 Tahun 1959, Kewedanan Bulukumba
menjadi kabupaten yang terdiri dari tujuh kecamatan. Salah satu diantara tujuh kecamatan tersebut ialah
kecamatan Kajang. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan No. 450
tahun 1965, Kecamatan Kajang dibentuk menjadi 5 (lima) desa gaya baru. Kelima
Desa tersebut ialah Desa Tanah Jaya, Desa Possi Tanah, Desa Tambangan, Desa
Lembanna dan Desa Tanah Toa. Desa-desa inilah yang merupakan wilayah
Pemerintahan Kecamatan Kajang.
Dalam perkembangan pemerintahan, kini
Kabupaten Bulukumba telah dimekarkan menjadi 10 (sepuluh) Kecamatan. Desa-desa
pun mengalami pemekaran, termasuk desa-desa dalam Kecamatan Kajang. Berdasarkan
data dari bagian pemerintahan Kabupaten Bulukumba, kini kecamatan Kajang telah
dimekarkan menjadi 2 (dua) Kelurahan dan 17 (Tujuh belas) desa. Dua Kelurahan
itu ialah Kelurahan Tanah Jaya dan Kelurahan Laikang. Diantara 17 (Tujuh Belas)
desa tersebut, 5 (Lima) desa termasuk kawasan adat, yaitu Desa Tana Toa, Desa
Sangkala, Desa Maleleng, Desa Pattiroang, dan Desa Batu Nilamung. Desa-desa
lainnya ialah Bontobiraeng, Bontobaji, Sapanang, Tambangan, Possi Tanah,
Bontorannu, Lembanna, Lembang, Lembang Lohe, Lolisang, Mattoanging dan Desa
Pantama. Luas wilayah Kecamatan Kajang seluruhnya ± 15.430 ha, dengan
batas-batas: sebelah utara Kabupaten Sinjai, sebelah timur Teluk Bone, sebelah
selatan Kecamatan Herlang, dan sebelah Barat Kecamatan Bulukumpa.
Kawasan
Adat
Lima desa yang masuk kawasan adat
yaitu Desa Tana Toa, Desa Sangkala, Desa Maleleng, Desa Pattiroang, dan Desa
Batu Nilamung biasa juga disebut Tana Kamase-masea, yang dihuni oleh komunitas Ammatoa. Wilayah adat ini biasa juga
disebut Ilalang Embaya, artinya di
dalam kawasan adat atau Kajang dalam. Selain Tana Kamase-masea, dalam wilayah Kecamatan Kajang dikenal pula Tana
Koasaya, yaitu Kelurahan dan Desa di luar kelima desa tersebut di atas. Wilayah
ini biasa juga disebut I pantarang Embaya
atau Kajang Luar, artinya tanah di luar wilayah adat.
Ada dua versi yang berbeda tentang
istilah Kajang. Dalam pengertian sebagai Kecamatan Kajang, berbeda dengan
Kajang dalam pengertian Pasang (Adat). Demikian pula halnya
penduduk dalam Kecamatan Kajang berbeda dengan pengertian masyarakat/ komunitas
Ammatoa. Sekalipun dua kelompok
tersebut masing-masing tinggal di Kecamatan Kajang.
Sebelum pemekaran desa, kawasan adat
masyarakat Kajang, berada dalam administratif desa Tana Toa dan beberapa dusun
di desa sekitarnya. Itulah sebabnya sehingga wilayah Tana Kamase-masea ini disebut juga kawasan adat tanah toa/ kawasan
adat Ammatoa. Namun, setelah
perubahan peta pemerintahan, kawasan adat Kajang berada dalam administratif kelima
desa tersebut di atas.
Masyarakat di kawasan Tana Toa /
Komunitas Ammatoa, adalah salah satu
suku di Indonesia yang sangat teguh memegang dan mempertahankan adat istiadat.
Karena keteguhan adat dan berbagai keunikan dalam budaya mereka sehingga mengundang banyak
peneliti masuk ke wilayah ini. Para peneliti itu, baik dari dalam negeri maupun
dari luar negeri ingin mengetahui lebih banyak berbagai aspek dalam kehidupan mereka.
Untuk memasuki kawasan adat Tana Toa,
dapat ditempuh dengan kendaraan umum, maupun pribadi. Kawasan adat ini berjarak
± 200 km dari Kota Makassar. Dari kota Bulukumba, lokasi kawasan adat Tana Toa
berjarak ± 55 km. Untuk mengunjungi kawasan adat Kajang, ada dua jalur yang
dapat ditempuh dari Kota Bulukumba namun pada umumnya pengunjung melewati
Tanete (Ibu Kota Kecamatan Bulukumpa) lebih kurang 15 km dari kota Tanete
(Jurusan Kassi). Pengunjung dapat berbelok kiri di pertigaan Desa Batulohe.
Melalui jalur ini relatif mudah ditempuh karena sarana jalanan sudah di aspal.
Kendaraan pengungjung baik roda empat maupun roda dua, dapat masuk sampai di pintu
gerbang kawasan adat Ammatoa. Mulai
dari pintu gerbang, pengunjung harus menggunakan pakaian khas adat Kajang
dengan warna hitam, termasuk destar atau ikat kepala. Selanjutnya pengunjung
harus berjalan kaki untuk memasuki kawasan adat.
Dalam perjalanan menuju kawasan adat,
pengunjung sudah dapat melihat warga Kajang beraktifitas dengan ciri khas
pakaian hitam. Pakaian hitam (dengan sedikit garis putih), mulai dari dompe / passapu (destar/ikat kepala)
baju, sarung dan celana bagi kaum pria. Sedangkan pakaian untuk kaum wanita,
mereka memakai baju dan sarung yang semuanya berwarna hitam. Penggunaan warna
hitam bagi komunitas Ammatoa Kajang
bermakna kegelapan (kematian). Mereka menganut faham/ filosofi bahwa manusia harus
selalu mengingat kematian, dan untuk selanjutnya kehidupan di alam akhirat.
Penggunaan warna hitam pada pakaian mereka, dengan pertimbangan tidak cepat
kotor. Karena mereka senantiasa memakai pakaian berwarna hitam sehingga
komunitas adat ini sering juga disebut dengan Suku Kajang Le’leng, yang berarti orang Kajang hitam.
Kawasan inti pemukiman komunitas adat
Kajang, berada di Desa Maleleng ± 800 meter dari pintu gerbang (pintu masuk
kawasan adat). Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa semua pengunjung yang
ingin memasuki kawasan adat tersebut harus menggunakan pakaian adat Kajang yang
berwarna hitam-hitam, termasuk Passapu (destar). Penggunaan pakaian berwarna
hitam ini, juga dipergunakan oleh beberapa suku terasing / komunitas adat
Indonesia. Salah satunya adalah suku Baduy di Propinsi Banten, juga menggunakan
pakaian khas hitam-hitam. (Bersambung)
Disarikan dari: Naskah "Komunitas Ammatoa dan Pasang Ri Kajang" penulis: Muhammad Arief Saenong.
0 komentar:
Posting Komentar