Minggu, 23 Oktober 2016

Ammatoa (1): Sebuah Deskripsi Awal Tentang Kajang



Setiap suku bangsa di Indonesia masing-masing memiliki pola budaya yang berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan budaya tersebut melahirkan pola pikir dan sistem sosial yang berbeda pula dalam menghadapi kehidupan.
Warga Komunitas Adat Ammatoa (Foto: twicsy.com)
Salah satu komunitas yang berada di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan menganut pola hidup yang unik yang mereka warisi dari leluhur mereka. Keunikan tersebut ialah mereka menganut pola pikir yang berorientasi pada kehidupan bersahaja, dan menerima nasib apa adanya. Hidup bersahaja adalah suatu sikap dan pola hidup yang dianut dengan prinsip jujur, tegas, sabar, dan pasrah. Sikap dan pola hidup dengan menganut empat sifat tersebut, tertuang dalam “Pasang Ri Kajang” (pesan/ amanat di Kajang).
Pasang Ri Kajang adalah ajaran leluhur dan merupakan “hukum/ undang-undang” berupa pedoman hidup yang diwariskan secara turun temurun. Pasang dikomunikasikan (secara lisan) melalui Ammatoa dan para pemangku adat lainnya. Sebagai ajaran dan tuntunan hidup bagi komunitas adat Kajang, Pasang mengatur semua  aspek kehidupan sosial budaya dalam masyarakatnya; aspek-aspek tersebut meliputi sistem ritual/ kepercayaan, adat istiadat, sistem nilai, dan hubungan sosial dalam masyarakat, Pasang juga mengatur hubungan antara manusia dengan lingkungannya.  
Ammatoa adalah pemimpin tertinggi dalam komunitas adat Kajang. Dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai kepala suku, Ammatoa dibantu oleh pemangku adat yang bertugas mengurusi bidang tertentu. Sekalipun Ammatoa merupakan pemimpin tertinggi namun pengambilan keputusan selalu dimusyawarahkan dengan pembantunya. Hal ini menggambarkan bahwa sosok Ammatoa adalah pemimpin yang menganut paham demokrasi, jujur, adil dan mengayomi. Itulah sebabnya sehingga Ammatoa  selalu didengar nasehatnya, dicontoh perbuatannya, dan tempat berlindung komunitasnya (mengayomi). Sosok Ammatoa adalah panutan yang sangat disegani, baik, oleh komunitasnya maupun dari luar kawasan adat.
Dalam menyikapi kehidupan, masyarakat adat Kajang cenderung lamban menerima pembaharuan. Dan bahkan ada hal-hal baru yang mereka tolak sama sekali. Hal ini menyebabkan mereka terbelakang, baik dari aspek sosial, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Kondisi tersebut merupakan suatu fenomena sosial yang memerlukan penanganan pihak terkait secara arif dan persuasif.


Deskripsi Awal Tentang Kajang

Pada zaman kolonial Belanda, Kajang merupakan salah satu distrik dari 14 distrik dalam Onderafdeling Bulukumba. Sistem pemerintahan seperti ini, berlangsung sampai masa penyerahan kedaulatan. Setelah penyerahan kedaulatan istilah Onderafdeling berubah menjadi Kewedanan. Berdasarkan Undang-undang No. 29 Tahun 1959, Kewedanan Bulukumba menjadi kabupaten yang terdiri dari tujuh kecamatan. Salah  satu diantara tujuh kecamatan tersebut ialah kecamatan Kajang. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan No. 450 tahun 1965, Kecamatan Kajang dibentuk menjadi 5 (lima) desa gaya baru. Kelima Desa tersebut ialah Desa Tanah Jaya, Desa Possi Tanah, Desa Tambangan, Desa Lembanna dan Desa Tanah Toa. Desa-desa inilah yang merupakan wilayah Pemerintahan Kecamatan Kajang.
Dalam perkembangan pemerintahan, kini Kabupaten Bulukumba telah dimekarkan menjadi 10 (sepuluh) Kecamatan. Desa-desa pun mengalami pemekaran, termasuk desa-desa dalam Kecamatan Kajang. Berdasarkan data dari bagian pemerintahan Kabupaten Bulukumba, kini kecamatan Kajang telah dimekarkan menjadi 2 (dua) Kelurahan dan 17 (Tujuh belas) desa. Dua Kelurahan itu ialah Kelurahan Tanah Jaya dan Kelurahan Laikang. Diantara 17 (Tujuh Belas) desa tersebut, 5 (Lima) desa termasuk kawasan adat, yaitu Desa Tana Toa, Desa Sangkala, Desa Maleleng, Desa Pattiroang, dan Desa Batu Nilamung. Desa-desa lainnya ialah Bontobiraeng, Bontobaji, Sapanang, Tambangan, Possi Tanah, Bontorannu, Lembanna, Lembang, Lembang Lohe, Lolisang, Mattoanging dan Desa Pantama. Luas wilayah Kecamatan Kajang seluruhnya ± 15.430 ha, dengan batas-batas: sebelah utara Kabupaten Sinjai, sebelah timur Teluk Bone, sebelah selatan Kecamatan Herlang, dan sebelah Barat Kecamatan Bulukumpa.

Kawasan Adat
Lima desa yang masuk kawasan adat yaitu Desa Tana Toa, Desa Sangkala, Desa Maleleng, Desa Pattiroang, dan Desa Batu Nilamung biasa juga disebut Tana Kamase-masea, yang dihuni oleh komunitas Ammatoa. Wilayah adat ini biasa juga disebut Ilalang Embaya, artinya di dalam kawasan adat atau Kajang dalam. Selain Tana Kamase-masea, dalam wilayah Kecamatan Kajang dikenal pula Tana Koasaya, yaitu Kelurahan dan Desa di luar kelima desa tersebut di atas. Wilayah ini biasa juga disebut I pantarang Embaya atau Kajang Luar, artinya tanah di luar wilayah adat.
Ada dua versi yang berbeda tentang istilah Kajang. Dalam pengertian sebagai Kecamatan Kajang, berbeda dengan Kajang dalam  pengertian Pasang (Adat). Demikian pula halnya penduduk dalam Kecamatan Kajang berbeda dengan pengertian masyarakat/ komunitas Ammatoa. Sekalipun dua kelompok tersebut masing-masing tinggal di Kecamatan Kajang.
Sebelum pemekaran desa, kawasan adat masyarakat Kajang, berada dalam administratif desa Tana Toa dan beberapa dusun di desa sekitarnya. Itulah sebabnya sehingga wilayah Tana Kamase-masea ini disebut juga kawasan adat tanah toa/ kawasan adat Ammatoa. Namun, setelah perubahan peta pemerintahan, kawasan adat Kajang berada dalam administratif kelima desa tersebut di atas.
Masyarakat di kawasan Tana Toa / Komunitas Ammatoa, adalah salah satu suku di Indonesia yang sangat teguh memegang dan mempertahankan adat istiadat. Karena keteguhan adat dan berbagai keunikan dalam  budaya mereka sehingga mengundang banyak peneliti masuk ke wilayah ini. Para peneliti itu, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri ingin mengetahui lebih banyak berbagai aspek dalam kehidupan mereka.
Untuk memasuki kawasan adat Tana Toa, dapat ditempuh dengan kendaraan umum, maupun pribadi. Kawasan adat ini berjarak ± 200 km dari Kota Makassar. Dari kota Bulukumba, lokasi kawasan adat Tana Toa berjarak ± 55 km. Untuk mengunjungi kawasan adat Kajang, ada dua jalur yang dapat ditempuh dari Kota Bulukumba namun pada umumnya pengunjung melewati Tanete (Ibu Kota Kecamatan Bulukumpa) lebih kurang 15 km dari kota Tanete (Jurusan Kassi). Pengunjung dapat berbelok kiri di pertigaan Desa Batulohe. Melalui jalur ini relatif mudah ditempuh karena sarana jalanan sudah di aspal. Kendaraan pengungjung baik roda empat maupun roda dua, dapat masuk sampai di pintu gerbang kawasan adat Ammatoa. Mulai dari pintu gerbang, pengunjung harus menggunakan pakaian khas adat Kajang dengan warna hitam, termasuk destar atau ikat kepala. Selanjutnya pengunjung harus berjalan kaki untuk memasuki kawasan adat.
Dalam perjalanan menuju kawasan adat, pengunjung sudah dapat melihat warga Kajang beraktifitas dengan ciri khas pakaian hitam. Pakaian hitam (dengan sedikit garis putih), mulai dari dompe / passapu (destar/ikat kepala) baju, sarung dan celana bagi kaum pria. Sedangkan pakaian untuk kaum wanita, mereka memakai baju dan sarung yang semuanya berwarna hitam. Penggunaan warna hitam bagi komunitas Ammatoa Kajang bermakna kegelapan (kematian). Mereka menganut faham/ filosofi bahwa manusia harus selalu mengingat kematian, dan untuk selanjutnya kehidupan di alam akhirat. Penggunaan warna hitam pada pakaian mereka, dengan pertimbangan tidak cepat kotor. Karena mereka senantiasa memakai pakaian berwarna hitam sehingga komunitas adat ini sering juga disebut dengan Suku Kajang Le’leng, yang berarti orang Kajang hitam.
Kawasan inti pemukiman komunitas adat Kajang, berada di Desa Maleleng ± 800 meter dari pintu gerbang (pintu masuk kawasan adat). Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa semua pengunjung yang ingin memasuki kawasan adat tersebut harus menggunakan pakaian adat Kajang yang berwarna hitam-hitam, termasuk Passapu (destar). Penggunaan pakaian berwarna hitam ini, juga dipergunakan oleh beberapa suku terasing / komunitas adat Indonesia. Salah satunya adalah suku Baduy di Propinsi Banten, juga menggunakan pakaian khas hitam-hitam. (Bersambung)

Disarikan dari: Naskah "Komunitas Ammatoa dan Pasang Ri Kajang" penulis: Muhammad Arief Saenong.

0 komentar:

Posting Komentar