Kota Bulukumba merupakan kota yang tingkat kenakalan remaja dan kriminalitasnya
tertinggi kedua setelah Kota Makassar. Hampir setiap hari terjadi perkelahian
antar geng anak muda, pencurian, dan pemerkosaan. Begitulah gambaran situasi
dan keadaan kota Bulukumba pada penghujung era tahun 1980-an dan tahun-tahun
awal era 1990-an. Laju pembangunan gaya Orde Baru di Indonesia saat itu sedang
bergerak pesat. Sementara itu sebahagian masyarakat merasa tidak cukup memiliki
rasa aman.
Pada masa itu, beberapa geng anak muda di kota Bulukumba dikenal banyak
melakukan aksi kriminal. Geng-geng anak muda berandal yang namanya masih
melegenda sampai hari ini antara lain Bidosto, Kacando, Antanija dan Bayonet tidak mampu diberantas oleh
pihak kepolisian.
Warga kota merasa sangat resah selama bertahun-tahun. Ketenteraman
mereka terganggu terutama pada malam hari. Mereka sangat terusik akibat dari
aksi perkelahian antar geng, pencurian, pemerkosaan dan lain-lain. Kejadian-kejadian
semacam itu terjadi hampir setiap hari.
Aksi dari geng-geng berandalan tersebut bukan lagi sekedar kenakalan remaja
biasa. Tetapi sudah berada pada tingkat kriminal.
Sementara itu di sebuah perguruan silat bernama Perguruan Hati Suci di kota Bulukumba. Dua orang anak
muda bersaudara kandung sedang digembleng dengan ilmu silat oleh sang ayah
kedua anak muda itu.
Pada suatu hari, Kaimuddin, sang ayah
memanggil kedua putranya. Kaimuddin yang oleh
anak-anak dan muridnya ini biasa disebut dengan panggilan nama Abah.
Abah berkata, “Ketahuilah, anak-anakku. Hari ini adalah hari yang aku
nantikan. Menurutku, telah cukup ilmu silat yang aku ajarkan kepada kalian.
Kalian berdua harus menggunakan ilmu itu di jalan kebenaran. Kalian hanya boleh
menggunakannya untuk memberantas kebatilan di tengah masyarakat. Kalian aku
tugaskan untuk memberantas kebatilan di kota Bulukumba.”
Seperti layaknya kisah-kisah pendekar dalam cerita komik silat dan
film-film laga, maka berangkatlah kedua pemuda itu melakukan petualangan.
Mereka merasa bertanggung jawab untuk menunaikan tugas mulia, sebagaimana
amanah dari sang ayah sekaligus guru mereka.
Nama kedua pemuda tampan itu adalah Hikmayandi dan Indra. Wajah kedua
kakak adik ini sangat mirip. Sampai-sampai keduanya dijuluki “Si Kembar”.
Keduanya memiliki ciri khas berupa rambut gondrong. Sebagaimana trend anak
muda era 1990-an saat itu. Hikmayandi memiliki tubuh agak jangkung dan berkulit
putih. Indra memiliki kulit kuning langsat. Perawakannya sedikit lebih kecil dibanding Hikmayandi. Keduanya masing-masing selalu
membawa double stick (serambo) di
manapun mereka berada.
Hampir setiap malam kedua pemuda ini berkelana di kota Bulukumba. Hampir
setiap malam pula mereka bertarung melawan geng-geng anak muda berandal.
Uniknya, mereka berdua selalu bertarung di dalam wilayah kekuasaan geng-geng
tersebut. Keduanya selalu dikeroyok puluhan orang dalam setiap pertarungan.
Dalam puluhan pertarungan itu senantiasa dimenangkan oleh Si Kembar. Dalam
waktu beberapa bulan, semua wilayah kekuasaan geng-geng di Bulukumba telah
mereka jelajahi. Semua dedengkot geng-geng pun telah mereka taklukkan.
Dalam waktu relatif singkat, keduanya mulai dikenal dari mulut ke mulut
di kalangan warga kota. Warga kota merasa seperti memiliki sepasang hero. Kedua pendekar muda di zaman
modern itu seolah menjadi ikon tersendiri di kota Bulukumba.
Cerita dari mulut ke mulut tentang Si Kembar akhirnya sampai juga ke
telinga Kapolres Bulukumba pada waktu itu. Suatu hari, Kapolres Bulukumba
memerintahkan anak buahnya untuk menghadirkan Si Kembar di ruangannya.
“Saat itu jujur kami merasa kaget karena
tiba-tiba dipanggil oleh Kapolres untuk menghadap beliau, kami bertanya-tanya
dalam hati kira-kira kami mau diapakan ya?” kata Hikmayandi menuturkan kepada
penulis ketika ia mengenang detik-detik bersejarah itu.
Dalam pertemuan itu, ternyata di luar dugaan keduanya, Kapolres secara
terus terang mengungkapkan kekagumannya terhadap sepak terjang Si Kembar.
Bahkan Kapolres saat itu sempat menanyakan tentang double stick yang selalu mereka bawa kemana-mana. Saat itu, karena
takut Si Kembar sengaja menyembunyikan senjata andalannya itu di luar markas
Polres. Kapolres menyuruh keduanya untuk mengambil kedua senjata itu.
“Kalian tidak boleh berpisah dari senjata kalian ini. Jujur baru kali
ini saya melihat ada pendekar-pendekar remaja seperti kalian yang sebelumnya
hanya dapat saya saksikan di film-film,” kata Kapolres penuh rasa kagum.
Pada hari itu, Kapolres lalu memberikan semacam surat rekomendasi kepada
Si Kembar yang ditandatangani sendiri oleh Kapolres. Surat rekomendasi itu
intinya memberikan izin kepada Si Kembar untuk melumpuhkan semua pelaku
kriminal terutama geng-geng berandal di kota Bulukumba. Babak baru petualangan
Si Kembar pun dimulai.
Hampir setiap hari Si Kembar keluar masuk kantor Polres untuk menyeret
anak-anak muda berandal yang telah mereka lumpuhkan. Sejak saat itu situasi
keamanan di kota Bulukumba mulai berangsur pulih dan terkendali.
“Pada masa itu, Si Kembar benar-benar ditakuti lawan dan disegani
kawan,” tutur Abdul Samad Rauf, Ketua Dewan Penasihat Banpom Bulukumba dan
teman seperguruan Si Kembar.
Saat ini, Hikmayandi dan Indra tidak muda lagi. Keadaan kota Bulukumba
pun kini sudah tidak seperti dulu saat mereka masih berusia 19 dan 18 tahun
kala itu. Mereka juga sudah tidak berkelana kesana kemari untuk melumpuhkan
geng-geng yang meresahkan masyarakat. Meski demikian, Si Kembar tetap
menunjukkan dedikasinya yang tulus ikhlas membantu masyarakat dalam memenuhi
rasa amannya.
Pada tahun 1995, secara resmi seluruh
anggota Perguruan Hati Suci dilantik menjadi anggota Badan Pembantu Polisi
Militer (Banpom) Kabupaten Bulukumba. Hikmayandi menjabat sebagai Panglima
Tertinggi Banpom dan Indra sebagai Ketua Pelaksana Harian Banpom.
Pada tahun 2012, atas dedikasinya
selama ini dalam membantu terciptanya Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
(Kamtibmas) Hikmayandi mewakili atas nama Si Kembar, perguruan Hati Suci dan Banpom diberikan Piagam Penghargaan
Kamtibmas oleh Kapolda Sulselbar.(*)
0 komentar:
Posting Komentar