Sabtu, 05 November 2016

Muhammad Arief Saenong, Sekeping Warisan Teknologi Pinisi dan Mimpi Tentang Museum



        Ia diganjar penghargaan Celebes Award dari Gubernur Sulawesi Selatan di Bidang Kebudayaan pada Desember 2007. Obsesi, pengetahuan, pemikiran dan kekhawatirannya terhadap kepunahan Pinisi yang asli dimuntahkannya ke dalam bentuk beberapa buku.
           Budayawan dari Bulukumba yang paling getol berbicara tentang pinisi adalah Muhammad Arief Saenong. Obsesi, pengetahuan, pemikiran dan kekhawatirannya terhadap kepunahan Pinisi yang asli dimuntahkannya dalam bentuk beberapa buku. Selama puluhan tahun di dunia literasi, ia telah mengabdikan pengetahuannya untuk berbagi dengan kita terkait Pinisi.
           Muhammad Arief Saenong adalah juga seorang pensiunan guru. Lahir di tengah komunitas Panritalopi di Ara, Bontobahari  Kabupaten Bulukumba, 14 Juni 1942. Menyelesaikan SR (SD) di tanah kelahirannya; SMP di Bulukumba, SGA di Pare-Pare (1963); PGSLP Seni Rupa di Makassar (1969) dan STKIP Muhammadiyah di Bulukumba (1983).
          Sejak 1 Oktober 1963 menjadi guru SD di Tanah Beru Bulukumba, tetapi dua tahun kemudian ditinggalkannya untuk keluar propinsi dengan profesi sebagai pembuat perahu pinisi. Setelah menyelesaikan PGSLP di Makassar, ia mengajar di SPG Negeri Bulukumba (1970) dan juga mengajar pada beberapa SLTA Negeri maupun Swasta di Bulukumba (1980-1997). Sejak Agustus 1991 menjadi Penilik Kebudayaan sampai pensiun pada 1 Nopember 2001.
           Pada 1992 pemerhati budaya khususnya pinisi ini mendapat kepercayaan menjadi narasumber dan memandu pembuatan film dokumenter “Adat Pembuatan Pinisi” oleh Pustekkom Depdikbud.
          Pada 2001, bukunya yang berjudul “Pinisi Perahu Khas Sulawesi Selatan” diterbitkan oleh Proyek Pembinaan Sejarah Purbakala dan Permuseuman Sulawesi Selatan. Pada Nopember 2007, memenangkan sayembara penulisan naskah buku nonfiksi yang diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Depdiknas dengan judul “Pinisi Perahu Tradisional Bugis Makassar” . Sebulan kemudian, Desember 2007 ia diganjar penghargaan “Celebes Award” dari Gubernur Sulawesi Selatan di Bidang Kebudayaan. Tahun 2010 ia menulis buku Komunitas Ammatowa dan Pasang Ri Kajang.
           Buku karyanya “Pinisi: Paduan Teknologi dan Budaya” merangkum simpulan awal beberapa pakar bahwa buku tersebut merupakan referensi terlengkap tentang pinisi.
            Meskipun pendapat dari beberapa ahli mengungkapkan bahwa buku tersebut masih jauh untuk disebut sebagai referensi ideal tentang pinisi, namun buku itu telah berhasil merefresh wawasan kita terutama kaitannya dengan mitos pembagian pengetahuan teknik pembuatan perahu. Buku itu juga mencerminkan asal penulisnya, Ara yang merupakan asal pembuat perahu.
            Dalam mitos dikemukakan, bahwa ada tiga kampung yang masing-masing memiliki keterampilan: orang Ara lihai membuat bagian dasar perahu, orang Lemo-lemo trampil menghaluskan, dan orang Bira melayarkannya.
            “Buku itu saya tulis sebagai bentuk kecintaan saya terhadap perahu pinisi. Pinisi sekarang sudah punah, yang ada sekarang ini disebut perahu layar motor. Begitu cintanya saya kepada pinisi, saya pernah meninggalkan profesi guru agar bisa menjadi tukang perahu,” ungkap Muhammad Arief Saenong dalam salah satu wawancara.
             Budayawan Bulukumba yang pernah menulis makalah dengan judul “Pinisi Riwayatmu Dulu, Terabaikan Sekarang” ini  dalam berbagai kesempatan yang dimilikinya tetap berupaya untuk banyak menjelaskan kepada kita seputar sejarah pinisi sebagai salah satu warisan budaya Bulukumba. Mulai dari asal usul atau legendanya, proses penciptaan perahu Pinisi, tradisi dan budayanya, sampai kepada kepunahan perahu Pinisi yang diakibatkan oleh motorisasi yang digunakan dalam perahu.
          “Saya pernah menyarankan kepada Pemda Bulukumba untuk menganggarkan pembuatan perahu Pinisi dalam bentuk aslinya, sehingga dapat menjadi aset budaya yang sangat berharga” ungkap Arif Saenong.
           Menurut Muhammad Arief Saenong, perahu pinisi klasik generasi terakhir yang dibangun di Tanah Beru, dibuat pada 1974 milik H. Abdul Wahab, seorang pengusaha perahu dari Bira. Ada dua buah pinisi yang dibangun pada waktu itu masing-masing berkapasitas 200 GT. Sedangkan pinisi (asli) generasi terakhir yang dibangun di Ara dibuat pada 1974 milik H. Emba. Pinisi yang berkapasitas 200 GT itu diluncurkan pada Juni 1974.
           Bila merujuk pada apa yang dituliskan Muhammad Saenong bahwa pembuatan perahu pinisi yang tergolong ramai pada zamannya ialah di Cappa Ujung (Pare–Pare). Antara 1950- an sampai akhir 1960-an, puluhan tukang perahu menetap tinggal di tempat ini mengerjakan pinisi dan jenis perahu lainnya dari berbagai ukuran milik pengusaha setempat. Salah satu perusahaan di Kodya Pare–Pare (PT Duta Pare) milik Kuneng Bau Massepe’ pernah memesan perahu sebanyak 7 buah yang pembangunannya dikoordinir oleh Panrita Dg. Baso Cinda.
            Salah satu dari ke tujuh perahu yang dibangun perusahaan tersebut dibuat dengan type pinisi dalam bentuk aslinya tetapi didesain untuk perahu layar motor (PLM). Menurut penuturan para tukang saat itu (1962) inilah pinisi yang pertama menggunakan mesin. Dengan pemakaian mesin tersebut, oleh tukang ahli dilakukan penyesuaian pada bagian belakang ujung lunas dengan memasang linggi tegak lurus (tiang bos) untuk tumpuan as baling–baling. Pada ketinggian tertentu barulah dipasang Sotting belakang. Pembuatan pinisi yang dimotorisasi ini dengan bobot 30 GT ditangani oleh panrita Alla Raja.
           Dan, jauh sebelum itu, menurut Muhammad Arief Saenong bahwa pada tahun 1972 di Bulukumba pernah dibangun dua buah perahu pinisi yang dimotorisasi atas bantuan presiden waktu itu dan dikerjakan oleh Panrita Inga’ Dg. Raja. Proyek ini diberi nama “Proyek Toddo’puli” yang merupakan salah satu upaya pemerintah untuk melestarikan perahu pinisi yang mulai mengalami kelesuan. Sehubungan dengan proyek Toddo’puli, ada enam buah pinisi yang dimotorisasi dibuat di Sulawesi Selatan. Dua di antaranya dibangun di Jeneponto (Pallengu dan Nasara) dan empat lainnya dibangun masing-masing satu buah di Takalar; Mamuju; Bone; dan Bulukumba. Pada 1979 di Pallengu pernah pula di bangun sebuah perahu pinisi yang diberi nama “Sinar Habibie” dan peluncurannya disaksikan langsung oleh B.J. Habibie selaku Menristek waktu itu.”
             Besarnya potensi budaya yang ada di Bulukumba memunculkan banyaknya usul dari berbagai pihak, salah satunya adalah Muhammad Arief Sanong yang mengharapkan kehadiran museum di Bulukumba. Kehadiran museum dirasa semakin mendesak guna melestarikan sumberdaya budaya tersebut mengingat budaya mempunyai sifat yang langka, tidak dapat diperbaharui, rapuh dan tidak tergantikan.
          Melalui museumlah kita dapat merungkap kebudayaan Indonesia secara visual serta makna dari nilai-nilai budaya, sehingga masyarakat dapat menapaki perjalanan sejarah bangsanya atau daerahnya.
          Selain itu melalui museum, masyarakat dapat belajar berbagai sistem nilai budaya nenek moyangnya, kearifan lokal, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta karya seni sebagai bukti kreativitas masyarakat masa lalu. Museum juga dapat membentuk jati diri bangsa, membangkitkan rasa cinta tanah air dan membangun rasa kesatuan bangsa. Sumberdaya budaya yang berada dalam sebuah museum dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ideologis, akademik dan ekonomik. Sisi ideologis itu akan berbicara tentang jati diri, karakter dari suatu daerah atau bangsa, sementara manfaat ekonominya akan berbicara tentang dampak benefit yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya budaya. (*)

0 komentar:

Posting Komentar