Jumat, 04 November 2016

Prof. Mattulada, Sang Pengabdi dari Humanisme, Seni dan Kata Hati



Prof. Dr. Mattulada merupakan satu-satunya putra Bulukumba yang pernah dinobatkan sebagai cendekiawan dan tokoh sastra nasional karena karya-karya besarnya. Makassar Internasional Writers Festival (MIWF) 2012 mengganjarnya dengan penghargaan untuk dua buku karyanya yang mendunia: “Latoa, Sebuah Deskripsi Analitik Antropologi Politik Bugis” dan “Mencari Bugis di Asia Tenggara.”
Karya-karya ilmiah Mattulada yang lain, di antaranya: The Spread of the Buginese in Southeast Asia (1973), Kebudayaan Bugis-Makassar, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (editor Koentjaraningrat -- 1977), Pedang dan Sempoa (Sejarah Kebudayaan dan Perasaan Kepribadian orang Jepang -- 1981), Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1990), To-Kaili, Manusia dan Kebudayaan di Sulawesi Tengah (1991), dan Human Ecology (1993).
Profesor  ini selalu berpendapat bahwa antropologi yang digelutinya berkaitan sangat erat dengan prilaku manusia, bertaut lekat dengan kesenian yang sangat mengedepankan sisi humanistis, nurani dan kata hati.
Sebahagian hidup  cendekiawan kelahiran Bulukumba 15 November 1928 ini diabdikankan untuk mengajar, melakukan penelitian dan mengembangkan minatnya yang lain, kesenian.
Dialah yang kemudian dikenal sebagai salah satu budayawan yang pernah mengangkat pamor Dewan Kesenian Makassar (DKM). Pada masa menjabat Ketua DKM itulah, di Makassar muncul nama-nama budayawan dan sastrawan terkenal seperti Rahman Arge, Aspar Paturusi, Husni Djamaluddin, Arsal Alhabsyi, Drs Ishak Ngeljaratan MS, dan DR Sutiono Sinansari  Ecip dan Andi Rio Daeng Riolo.
Di masa hidupnya, Mattulada selalu menampik anggapan bahwa di masanyalah DKM mencapai "masa keemasan" dalam melahirkan karya. Bagi dia, tampilnya angkatan Arge dan kawan-kawan erat kaitannya dengan masa perjuangan waktu itu, 60-an hingga awal 70-an. Era itu, karya sastra dan kesenian tumbuh subur karena situasi, dan para pejabat di Sulsel sangat mendukung.
Mattulada sempat mengalami masa-masa pahit getir revolusi. Seandainya Kepala Polisi Sulawesi Selatan La Tippa tidak kebetulan berkunjung ke penjara Bulukumba, barangkali kita tak kenal lagi Mattulada. Dan seandainya "kebetulan" itu  tak terjadi, mungkin nama Mattulada ikut tercatat dalam daftar panjang 40.000 pejuang Sulsel yangmenjadi korban pembantaian Westerling - tentara bayaran Belanda yang bengis itu.
"Nasib saya memang sedang 'baik' waktu itu," tutur Prof Dr Mattulada  saat diwawancarai oleh Kompas  pada tahun 1996.
 Berhari-hari sebelum La Tippa datang, tutur mantan Rektor Universitas Tadulako (1981 1990) dan Ketua Senat Guru Besar Unhas ini, satu persatu pejuang Indonesia "dijemput" oleh tentara NICA dan tidak kembali lagi.
"Saya resah menunggu giliran dihabisi Westerling. Saya hanya bisa berdoa," kenang Mattulada. Untunglah tanggal 7 Januari 1947, datang La Tippa, yang dikenal baik Mattulada. Ia dibebaskan dan dibawa ke Makassar. Hanya, dasar pejuang, begitu bebas, Mattulada -- lepasan SMP Nasional, sekolah yang banyak menelorkan pejuang termasuk Robert Wolter Monginsidi-- memanggul senjata lagi melawan Belanda. Rekannya se-SMP Nasional, Wolter Monginsidi, dihukum mati Belanda dalam proses peradilan cepat.
Merunut kembali sejarah, Mattulada mengatakan, siapapun yang menjadi pejuang waktu itu pasti ridho merelakan nyawanya bagi Ibu Pertiwi. Ia mengakui, yang memompa semangatnya dan memberi inspirasi sikap kejuangan banyak orang tak pelak lagi adalah Bung Karno, dengan pidatonya yang berapi-api di lapangan Hasanuddin tahun 1944. Pemimpin besar itulah yang selalu menyemangati para pejuang agar pantang menyerah dan menggantungkan cita-cita setinggi langit.
Semangat, inovatif dan jiwa kejuangan ditopang kecerdasan, merupakan ciri khas Mattulada. Sesudah gemuruh perjuangan melawan Belanda mereda, ia kembali ke sekolah dengan aktif di dinas sekuriti (PAM) Kepolisian RI. Tahun 1956, setelah memperoleh akte B1 ilmu hukum ia menjadi guru SMA.
Tahu bahwa Mattulada berlatar belakang sebagai tentara pelajar dan TNI, maka kepala sekolah waktu itu, Pangkerego, menugaskan Mattulada "mengamankan" anak-anak sekolah menaruh pistol di meja belajarnya atau mengamankan senjata selagi guru sedang mengajar. Mattulada sukses mengstabilkan sekolah. Ia pun dipercaya menjadi kepala sekolah pertama SMA III selama lima tahun, 1956-1961, lalu kepala SMA Negeri 1 1961-1966.
Mattulada adalah salah satu sosok penting di balik berdirinya Universitas Hasanuddin. Dialah yang termasuk dibawa Oom No (Arnold Mononutu) menghadap Presiden RI mendesak berdirinya sebuah PTN di Makassar. Namun karena waktu itu Bung Karno sedang ke Sumatera, maka ia hanya bisa bertemu Mohammad Hatta (Wakil Presiden waktu itu). Hatta pun mengatakan pemerintah telah memikirkan mendirikan sebuah PTN di Makassar, ia menuturkan kepada Gubernur Sulsel (waktu itu) Andi Pangerang Petta Rani bahwa Hatta telah menyalakan lampu hijau.
Maka di awal tahun 1956  tatkala Mendikbud (waktu itu) Bahder Djohan berkunjung ke Makassar, Mattulada dan kawan-kawannya melakukan aksi. Mobil yang ditumpangi Bahder dan beberapa tokoh pendidikan Sulsel, "dihentikan" Mattulada dan kawan-kawan di Tamalanrea (kini menjadi kampus baru Unhas).
Bahder Djohan yang tahu Sulsel masih dirusuhi gerombolan mengira ada sesuatu yang luar biasa terjadi. Tapi, yang muncul adalah Mattulada dan kawan-kawannya, dan keperluannya, "hanya" mendesak Mendikbud agar menyetujui pendirian Unhas. Bahder tak bisa lain kecuali mengangguk-angguk setuju dan meminta para pemuda bersabar sebab pemerintah pasti membuka PTN baru di Makassar.
Tak puas hanya ucapan lisan, Mattulada dan kawan-kawan menyodorkan kertas putih sambil meminta Bahder Djohan membuat surat tanda persetujuan pendirian universitas baru dan menandatanganinya. Setelah semua ini dilakukan, barulah Mattulada dan kawan-kawannya "melepas" Bahder dan rombongannya masuk kota Makassar.
Beberapa waktu kemudian, datang Presiden Soekarno ke Makassar. Di Gubernuran Bung Karno dalam pengumuman selama 10 menit langsung menyatakan pendirian PTN itu, dan menamainya Universitas Hasanuddin. Beberapa bulan kemudian Mohammad Hatta datang meresmikannya.
Pada tahun 1959, Mattulada dan teman-teman merintis pendirian Fakultas Sastra di Unhas. Ketika fakultas itu jadi dibuka, dialah mahasiswa pertamanya, dan lulus 1964. Dua tahun kemudian ia menjabat Dekan Fakultas Sastra 1966-1970. Ketika terjadi G-30s-PKI, Mattulada membentuk dua kompi pasukan semacam resimen pelajar serba guna SMA Negeri 1 yang ia pimpin tampil sebagai salah satu pelopor pengganyangan komunis di tempat itu.
Bakat antropolo lebih terasah tatkala Mattulada tugas belajar di Rijks Universiteit Leiden 1970-1972. Puncak  karir Mattulada sebagai pengajar terjadi tatkala ia ditunjuk Mendikbud (waktu itu) Dr Daoed Yoesoef untuk menjadi Rektor Universitas Tadulako.
Disertasi Mattulada untuk meraih doktor di Universitas Indonesia (1975): Latoa, Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, disebut- sebut sebagai salah satu karya besar yang dihasilkan putra Sulsel setelah kemerdekaan.
Mattulada dilantik sebagai rektor pertama Universitas Tadulako di Palu, tanggal 18 Agustus 1981. Dua kali dipercayakan menjabat rektor hingga 1990, Mattulada kembali ke kampung halaman.
 Di Unhas ia dipercayakan menjabat Ketua Senat Guru Besar Unhas, 1990 hingga pensiun. Tetapi meski sudah pensiun, ia tetap diminta Rektor Unhas Prof Dr Basri Hasanuddin MA menjadi pengajar di program Pasca Sarjana Unhas.
Mattulada -yang artinya Penyambung Adat – di hari tuanya lebih banyak di rumah, membaca buku, menulis sambil ditemani istrinya, A Ressang. Putri tunggalnya, Drg Indria Kirana.  Kebiasaan Mattulada semasa hidupnya adalah berpuasa setiap Senin-Kamis.
Nama Prof. Dr Mattulada pernah menjadi buah bibir nasional pada tahun 1980-an. Pada saat hanya sedikit orang yang berani berbicara yang ‘nyeleneh’, cendekiawan yang agak eksentrik ini dengan lantang menyebut Indonesia sebagai ‘negara pejabat’.
Dia seorang intelektual yang sangat bernas dan berkualitas, di samping kompetensi utamanya sebagai seorang sejarawan dan antorpolog. Ia menyelesaikan pendidikan doktor di Universitas Indonesia 1 Maret 1975.       
Ketika muncul Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), Mattulada termasuk salah seorang pendukungnya. Dia menginginkan melalui Permesta itu, daerah harus memperoleh porsi 70% dan pusat 30% dari potensi daerah. Tuntutan itu ternyata menjadi salah satu harapan pemerintah daerah di era otonomi daerah sekarang ini.
Sejarawan, antropolog, budayawan dan sastrawan itu meninggal dunia pada 12 Oktober 2000. Aula Mattulada di Fakultas Sastra Unhas dan Perpustakaan Mattulada di Gedung Rektorat Unhas Makassar adalah salah satu cara mengabadikan namanya. 
Aneh memang, justru di kampung halamannya sendiri, Bulukumba, tidak secuilpun perhatian pemerintah untuk sekedar mengabadikan namanya apalagi mengadopsi pemikiran-pemikirannya yang brilian. (*)

0 komentar:

Posting Komentar