Sabtu, 05 November 2016

Muhannis Ara, Sesosok Cinta dan Identitas Etnik


             Novel karyanya yang ditulis dalam bahasa Makassar: “Karruq Ri Bantilang Phinisi” atau “Tangisan di Gubuk Phinisi” pada tahun 2011 tiba-tiba menyentak jagad sastra Indonesia. Novel itu mencuri banyak perhatian dari kalangan penikmat sastra dan pemerhati budaya khususnya di Sulawesi Selatan.

           Ia membuktikan kepiawaiannya menghasilkan karya sastra berbahasa daerah Makassar. Kehadiran novel yang fenomenal itu adalah sebuah bentuk kepedulian terhadap bahasa daerah yang berfungsi sebagai identitas etnik.
         Dorongan dan bantuan beberapa literatur kuno dari kakek neneknya Puang Basiraq Daeng Basiq dan Balaq Nojeng Daeng Matiqnoq serta naskah-naskah keluarga lainnya yang semuanya telah tak ada lagi karena hancur, menambah keyakinan akan kemampuannya mengolah bahasa daerah menjadi karya sastra.
          Drs. Muhannis Ara Daeng Lawaq lahir di Desa Ara, Kecamatan Bontobahari pada 5 Juni 1959. Putra dari pasangan Maggauq Daeng Gau dan Jaenong Daeng Sinnong. Mulai menyukai dan belajar sastra daerah sejak kecil. Ia tertarik dengan keindahan bahasa tetua di kampungnya yang dia kira sama dengan puisi yang diajarkan oleh guru di sekolah, cuma berbeda bahasa.                                                            
         Atas kecintaannya pada naskah kuno, Balai Arsip Nasional Makassar pernah memberikan Piagam Penghargaan pada dedikasinya menyelamatkan naskah-naskah kuno. Untuk penciptaan karya sastra, karyanya selalu ditampilkan pada berbagai even dan pertunjukan. Di bidang lomba, menjadi juara lomba cipta puisi daerah se-Sulsel di UNHAS tiga tahun berturut-turut (2005, 2006 dan 2007). Karya-karya seni lainnya pernah dipentaskan di tingkat desa sampai internasional.
         Muhannis Ara menjadi asset penting bagi gerakan pelestarian bahasa daerah di Sulsel khusunya Bugis Makassar setelah kita kehilangan Muhammad Salim, penerjemah dan penafsir Sureq Galigo, kitab sastra epik Bugis Kuno yang diakui sebagai salah satu karya sastra terpanjang di dunia, maka praktis tokoh dari kalangan generasi tua yang bisa menerjemahkan dan menafsirkan La Galigo tidak ada lagi. Jangankan Sureq Galigo, Lontaraq pun terancam kehilangan generasi. Nama-nama lainnya seperti Djirong Basang Daeng Ngewa yang dahulunya aktif menulis buku pelajaran Bahasa Makassar juga kehilangan penerus.
          Bahasa Daerah Makassar dan Bugis yang di sekolah SD dan SMP dijadikan muatan lokal diajarkan tanpa gairah, itupun terbatas hanya ada dalam ruangan kelas selama sejam. Anak-anak lebih memilih Bahasa Indonesia dalam pergaulan kesehariannya, baik di sekolah maupun di rumah. Sementara di Perguruan Tinggi, jurusan Bahasa dan Bahasa Daerah setiap tahun semakin turun peminatnya. Lontaraq yang dahulunya banyak disimpan di rumah-rumah penduduk, kini semakin kurang diperhatikan bahkan dimakan rayap dan lapuk dimakan usia sebelum diinventarisasi dan dimasukkan dalam Museum. Naskah Lontaraq dari masa lalu boleh jadi nantinya hanya ditemukan fisiknya di museum, tanpa ada lagi yang bisa menuliskannya. Begitu pula bahasa daerah aslinya, terancam ditinggalkan, dilupakan dan terlupakan oleh generasinya.
            Muhannis Ara menjadi salah satu harapan besar setelah kita sulit lagi menemukan sosok seperti Muhammad Salim dan Djirong Basang Daeng Ngewa. Beliau berdua orang yang konsisten dalam bidang penulisan dan penerjemahan Bahasa dan Sastra Daerah. Karya yang sudah lahir dari tangan Muhammad Salim adalah transliterasi dan terjemahan 12 jilid Sureq Galigo karya Arung Pancana Toa, Lontaraq Sidenreng, Lontarak Soppeng/Luwu, Budhistihara, Pappaseng, dan Lontarak Enrekang. Sementara Djirong Basang Ngewa adalah penulis buku-buku Pelajaran Bahasa Daerah Makassar (Pappilajarang Basa Mangkasarak) yang sangat produktif. Sebagian besar bukunya dijadikan Panduan dalam pengajaran muatan lokal untuk Tingkat SD dan SMP di Sulawesi Selatan.
           Muhannis mengungkapkan, penyebab sepinya peminat Bahasa dan Sastra Daerah, dari tingkat SD, SMP dan Perguruan Tinggi dan bahkan untuk SMA karena tidak diajarkan lagi semakin membuat Lontaraq dan Bahasa Daerah Bugis Makassar terancam dilupakan dan terlupakan. Bahasa ibu ini semakin terpinggirkan ditengah menjamurnya bahasa-bahasa gaul di kalangan remaja dan mahasiswa akibat pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Kalaupun masih ada yang menggunakan Bahasa Daerah dalam pergaulan hidupnya maka sesungguhnya itu banyak diantaranya tidak asli lagi, sudah bercampur dan dipengaruhi Bahasa Melayu ataupun Bahasa Indonesia.
           “Akhirnya, menjadi pertanyaan besar bagi kita semua. Ancaman punahnya Bahasa Daerah Bugis dan Makassar bukan hanya terjadi di Sulawesi Selatan, tapi juga menjadi ancaman bagi semua bahasa etnis di Nusantara,” kata Muhannis.
           Kekhawatiran budayawan ini sanggat beralasan sebab hal ini bukan hanya menyangkut bahasa dan aksara, tetapi juga menyangkut banyaknya kearifan local (local wisdom) yang terkandung dalam bahasa dan aksara itu, sebuah kearifan yang melahirkan begitu banyak peradaban indah dan menakjubkan di wilayah Nusantara ini. Bahasa, Sastra dan Kebudayaan Daerah seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat. Peran serta semua pihak dibutuhkan untuk menyelamatkan aset kultural bangsa ini. Mari membicarakannya, semoga saja kita masih sempat melestarikannya.
          Suami dari Dra. Suhaebah dan ayah dari Alif Ilhamsyah, saat ini menjabat sebagai Kepala SMAN 1 Sinjai Timur Kabupaten Sinjai. Dengan segala ketekunannya menulis berbagai artikel budaya dan karya seni serta mendalami kehidupan tradisional di Sulawesi Selatan berbuah penghargaan sebagai penerima Celebes Award Bidang Kebudayaan dari Gubernur Sulawesi Selatan pada tahun 2005.
        Menyelesaikan pendidikan formalnya dimulai di SD 161 dan 164 Ara dan tamat 1972. SMPN 1 Bulukumba 1975. Masuk kelas 1 di SMAN 1 Bulukumba, kelas 2 di SMAN 1 Abepura Jayapura dan tamat di SMAN Bantaeng 1979. Kuliah S1 di IKIP Makassar Jurusan Bahasa Jerman dan selesai 1985.
        Pada 2003 mendapat Stipendium atau beasiswa dari Pemerintah Republik Federal Jerman untuk mengikuti Deutsefortbildungskurs di Goethe Institut Munchen Jerman. Pada 1-30 Agustus 2011 kembali diundang ke Jerman untuk mengikuti seminar kebahasaaan dan metodik serta Landeskunde di Universitas Gottingen.
        Muhannis dikukuhkan oleh Goethe Institut Jakarta sebagai Instruktur Bahasa Jerman di Indonesia sampai sekarang. Sekaligus sebagai Ketua Ikatan Guru Bahasa Jerman Indonesia (IGBJI) Cabang Bawakaraeng Sulawesi Selatan serta beberapa organisasi lainnya. Hingga kini, Muhannis tetap gemar menulis puisi dalam bahasa daerah dan bahasa Jerman.
         Muhannis Ara dari Desa Ara rupanya telah dilahirkan untuk menjadi sesosok cinta dan identitas etnik yang dalam keseharian kita justru kadang terlupakan.
         Muhannis mengisahkan, dia dan dua rekannya, Sakkaruddin dan Demmanyimba, ‘menggeledah’ kampung, menelusuri dan mencari naskah-naskah kuno yang masih tersisa. Hasilnya, kata dia, terkumpullah lebih dari 100 naskah kuno Ara yang sempat diselamatkan yang sebagian menjadi bahan penulisan novel “Karruq ri Bantilang Pinisi”.
“Untuk menyelamatkan naskah itu, saya kemudian mengundang Balai Arsip Nasional ke Ara dan membuat micro film seluruh naskah temuan kami beberapa tahun lalu. Dr. Mukhlis Paeni memimpin langsung penyelamatan itu. Bersama tim, dia bahkan harus datang ke Ara dua kali untuk menyelesaikan tugas penyelamatan itu. Dan kami yakin masih banyak naskah yang belum ditemukan,” kata Muhannis.
Muhannis menilai, bahasa Makassar jika diolah dengan baik akan menjadi ikon yang sangat bagus bagi perkembangan budaya.
“Tentang sisi finansial, ini juga menjadi pertanyaan banyak orang. Saya hanya menulis sesuai imajinasi dan ingin mengisi kekosongan karya sastra yang menggunakan bahasa Makassar secara keseluruhan,” ungkapnya.
Pada tahun 2013, Muhannis juga menulis beberapa lagu berlirik Bahasa Konjo. Salah satu di antaranya  diberi judul “Maliang Ri Ara” yang dinyanyikan oleh penyanyi Ulho. (*)

1 komentar: