Senin, 28 November 2016

Muslim Rohingya, Asli Etnis di Myanmar yang Tertindas


             Muslim Rohingya mengalami berbagai penindasan di Myanmar sejak tahun 1942 hingga kini. Sejarah mencatat Muslim Rohingya telah bermukim di Arakan sejak tahun 877 M ketika Islam masuk ke seluruh Burma atau Myanmar pada Masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Ada banyak bukti yang menegaskan bahwa warga Muslim Rohingya adalah penduduk asli Myanmar yang tinggal di Arakan, mulai dari koin yang dijadikan mata uang, bangunan masjid dan beberapa artefak lainnya.

Namun, pada 1824 Inggris yang bersekutu dengan Kerajaan Budha datang dan menjajah Burma. Kemudian, pada 1982 terjadi penghapusan kebangsaan kaum muslimin. Sebelumnya diawali dengan pembantaian kaum muslimin lebih dari 100 ribu muslim pada 1942. Parahnya, penindasan ini masih belum selesai hingga kini.
Seorang sejarawan bernama Khalilur Rahman mengatakan, kata "Rohingya" berasal dari bahasa Arab yaitu "Rahma" yang berarti pengampunan. Sejarawan itu menelusuri pula peristiwa kecelakaan kapal pada abad ke-8, tepatnya pada saat kapal Arab terdampar di Pulau Ramree (perbatasan Burma dan Bangladesh).
Pada saat itu, para pedagang keturunan Arab itu terancam hukuman mati oleh Raja Arakan. Mereka memberontak dan berteriak "Rahma." Penduduk Arakan kesulitan untuk menyebut Kata "Rahma" mereka justru menyebut "Raham" (kasihanilah kami) dari "Raham" kata itu berubah menjadi "Rohang" dan akhirnya menjadi "Rohingya." Namun sejarah itu ditepis oleh mantan Presiden dan Sekretaris Konferensi Muslim Arakan, Jahiruddin Ahmed dan Nazir Ahmed. Ahmed mengklaim, kapal yang terdampar di Ramree adalah kapal milik warga Muslim Thambu Kya, yang tinggal di pesisir pantai Arakan. Merekalah warga Rohingya yang sebenarnya, dan mereka merupakan keturunan warga Afghanistan yang tinggal di Ruha.
Sejarahwan lain bernama MA Chowdhury memiliki pendapat lain mengenai asal usul Rohingya. Chowdhury yakin, di antara warga Myanmar, ada populasi Muslim yang bernama "Mrohaung." Warga itu berasal dari Kerajaan Kuno Arakan dan nama "Mrohaung" diubah menjadi "Rohang." 
Sementara itu sejarahwan asal Myanmar, Khin Maung Saw menjelaskan, warga Rohingya tidak pernah muncul dalam sejarah Myanmar, sebelum tahun 1950. Sejarahwan Myanmar lainnya juga yakin, tidak ada kata "Rohingya" dalam sensus penduduk 1824, yang dilakukan oleh Inggris. Klaim baru pun muncul dari Universitas Kanda yang menyebutkan bahwa warga Rohingya merupakan keturunan dari bangsa Benggala yang bermigrasi ke Burma pada dekade 1950an. Mereka melarikan diri di era kolonialisme. Bersamaan dengan itu, Dr. Jacques P mengatakan bahwa penggunaan kata "Rooinga" sudah ada pada abad ke-18, dan kata itu dipublikasikan oleh seorang warga Inggris.
Menurut sejarah, peradaban Muslim di Arakan sudah ada pada abad ke-8, tepatnya di saat pedagang Arab tiba di Asia. Mereka bermukim di Kota Mrauk-U dan Kyauktaw, wilayah itu saat ini dipenuhi oleh etnis Rohingya. Tepat pada 1785, Burma menguasai Arakan dan sekira 35 ribu warga Arakan kabur ke wilayah Chittagong yang dikuasai Inggris. Mereka menyelamatkan diri dari penindasan Burma dan meminta perlindungan tehradap Inggris. Di bawah perlindungan Inggris, warga Arakan diminta untuk membantu Inggris dalam bidang pertanian. Mereka diminta untuk bermigrasi ke sebuah lembah di Arakan dan bercocok tanam. Perusahaan Hindia Timur Britania meluaskan kontrol administrasi Benggala di Arakan.
Pada abad ke-19, ribuan warga Benggala di Chittagong bermukim di Arakan untuk mencari pekerjaan. Sementara itu, beberapa etnis Arakan juga tinggal di Benggala. Populasi warga Muslim Arakan semakin meningkat dan hal itu dibuktikan lewat sensus Inggris 1891.


Genosida Terhadap Muslim Rohingya

Human Rights Watch melaporkan lebih dari 1.200 rumah di desa-desa yang dihuni oleh muslim Rohingya rata dengan tanah, peristiwa ini terjadi dalam kurun 10-18 November 2016. HRW sebelumnya telah merilis gambar satelit yang mengidentifikasi 430 rumah hancur terbakar di tiga desa di Rakhine pada tanggal 13 November. Sampai saat ini belum jelas berapa jumlah korban yang tewas, baik ditembak maupun disiksa akibat serangan militer Myanmar ke Rakhine “rumah” bagi muslim Rohingya. Ada yang mengatakan 70 orang tewas, ada pula yang mengatakan 86 orang atau lebih dibantai. Sementara banyak laporan juga yang menyatakan 400 muslim Rohingya ditangkap sejak wilayah mereka dikepung.
Ironisnya pemerintah Myanmar terus membantah dan menyangkal bahwa telah terjadi genosida terhadap komunitas muslim Rohingya. Juru Bicara Kepresidenan Myanmar Zaw Htay mengatakan, militer tak membakar dan menghancurkan rumah-rumah suku Rohingya. Mereka juga tak memperkosa wanita Rohingya. “Kami akan bekerja sama dengan media untuk membahas isu-isu yang sensitif di masa depan,” ujarnya (Republika.com). Faktanya pemerintah Myanmar dengan menggunakan militernya telah melakukan eksekusi, penyiksaan, dan pemerkosa di Rakhine.
Aung San Suu Kyi, pemimpin pemerintahan Myanmar secara de facto hanya bungkam terhadap pembantaian yang telah terjadi selama bertahun-tahun ini. Sikap yang memalukan, mengingat Aung San Suu Kyi adalah peraih Nobel Perdamaian sementara rakyatnya tengah dibantai oleh negaranya sendiri. Kecaman pun datang dari dunia internasional yang kecewa dengan sikap Suu Kyi yang terkenal selalu diam menanggapi derita komunitas muslim Rohingya.
Diketahui 3000 muslim Rohingya mengungsi ke China, sementara mereka yang tiba di Bangladesh dengan perahu, ditolak dan didorong pergi oleh Penjaga Perbatasan Bangladesh karena dianggap imigran ilegal yang tidak memiliki kewarganegaraan. Kini mereka terombang-ambing di lautan tanpa arah dengan kekurangan bekal dan bermodal pakaian yang melekat di tubuhnya. Mereka tak mungkin kembali ke Rakhine untuk mengantarkan nyawa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Malaysia. Padahal penguasa mereka adalah seorang muslim, membantu mereka dengan memberi makanan, tempat tinggal dan pakaian adalah kewajiban syar’i sebagai sesama muslim, termasuk mencegah intimidasi dari militer Myanmar.
Sikap pemerintah Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia pun tak jauh beda. Semestinya Indonesia mengirimkan pasukannya untuk menghalangi pemerintah Myanmar untuk tidak membunuh, membakar harta dan rumah muslim Rohingya serta menyelamatkan mereka dari genosida yang dilakukan militer Myanmar. Bukan hanya lewat jalur perundingan dan diplomasi yang selama ini dilakukan.
Nasionalisme semu telah memudarkan dan menghilangkan rasa persaudaraan sesama muslim yang terikat kuat oleh Aqidah Islam. Sekat nasionalisme yang diciptakan oleh Barat sejak runtuhnya Kekhilafahan Islam yang terakhir -Daulah Utsmaniyah Turki-  telah berhasil mengkotak-kotakan negeri-negeri muslim menjadi 50 lebih negara bangsa. Inilah yang menjadi salah satu penyebab pudar dan hilangnya rasa kepedulian terhadap saudara muslim dibelahan bumi yang lainnya. Padahal 14 abad yang lalu Rasulullah saw telah mengingatkan kaum muslimin bahwa sesama muslim adalah saudara. Mereka ibarat satu tubuh di mana jika ada satu bagian tubuh yang sakit maka bagian tubuh yang lain ikut merasakan sakitnya.
Penguasa negeri-negeri muslim tampak tak serius menangani derita muslim Rohingya. Jalur perundingan dan diplomasi terbukti gagal dalam menyelesaikan persoalan Rohingya karena sampai saat ini Rakhine terus saja bergejolak. Mereka seolah berlepas tangan dan menyerahkannya kepada masyarakat Internasional. Nyatanya organisasi Internasional seperti PBB tidak menyelesaikan masalah apapun. Sebagai contoh, masalah Palestina masih dalam naungan PBB hampir enam puluh tahun lamanya dan sampai kini masih jalan ditempat bahkan masalah Palestina semakin kompleks. Mereka menegaskan bahwa muslim Rohingya adalah kelompok yang menerima perlakuan terburuk di dunia dan bahwa yang menimpa muslim Rohingya adalah preseden buruk bagi penegakkan HAM dunia. Mereka hanya mengecam tanpa mengambil tindakan untuk menghentikan tindakan pemusnahan etnis Rohingya  yang dilakukan pemerintah Myanmar. Sungguh peristiwa ini telah membuka mata dan hati kita serta menyingkap kedustaan dan kepalsuan dari propaganda Barat. Sudah saatnya bagi kita harus mengambil sikap sebagai mukmin yang benar.(*) 

*diolah dari berbagai sumber

1 komentar:


  1. Muslim Rohingya mengalami berbagai penindasan di Myanmar sejak tahun 1942 hingga kini. Sejarah mencatat Muslim Rohingya telah bermukim di Arakan sejak tahun 877 M ketika Islam masuk ke seluruh Burma atau Myanmar pada Masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Ada banyak bukti yang menegaskan bahwa warga Muslim Rohingya adalah penduduk asli Myanmar yang tinggal di Arakan, mulai dari koin yang dijadikan mata uang, bangunan masjid dan beberapa artefak lainnya.

    BalasHapus